
Suara tegap sang pemimpin upacara mungkin terdengar sengau bagimu. Kamu hanya menunduk di balik topi abu-abu yang kamu kenakan. Aku melirikmu sebentar. Sebentar kemudian melirik ke barisan kelas sebelah, perempuan itu sama menunduknya sepertimu. Siapa yang peduli dengan dua manusia yang menunduk di antara barisan itu, upacara tetap berlangsung begitu khidmat.
Senin yang sendu. Begitu aku mengingat hari Senin itu, entah sudah berapa ratus hari yang lalu Senin itu kini sudah berlalu. Selepas pemimpin upacara membubarkan pasukannya, aku melihatmu memasuki kelas dengan wajah yang tak biasanya.
Hanya ada hening yang tersisa dalam 50 cm jarak tempat dudukku dan tempat dudukmu. Teman-teman masih di depan kelas, membicarakan segala yang berlalu selama weekend, membicarakan tugas-tugas akhir semester genap yang mulai menumpuk. Kamu menunduk, sesekali membaca sesuatu di ponselmu. Aku hanya diam membaca halaman-halaman terakhir novel karya penulis favoritku. Membiarkan novel itu menutupi sebagian wajahku.
Sebuah tangan mengangkat novel itu, membuat wajahku yang tertutupi jadi terlihat. Kamu. Diam. Hanya menyetorkan ekspresi murung. Aku mengerti. Continue reading “Presipitasi #7”