Kemarin gerimis menyapa keringnya rasa. Aku terduduk tersenyum mengingat aku yang tak boleh mengenangnya, mengingat kemarau panjang yang mendera sejak awan berarak dari tempatku berpijak, membawa serta pula hujan yang dulu pernah menjadi teman baikku. Ya, kemarin gerimis menyapa tanah yang kini kering. Meski dalam mimpi singkat di malam hari.
Kemarin, gerimis kembali menyapa keringnya rasa. Aku susah payah menarik lagi logikaku yang melumpuh. Kalau saja awan tak berarak, kalau saja tanah ini masih subur oleh hujanmu, kalau saja.., kalau saja.., kalau saja hujan masih setia di tanah ini. Ah, mungkin tanah ini tak akan sekering ini.
Kemarin, gerimis kembali menyapa keringnya rasa. Aku bertanya kapan kondensasi akan kembali terjadi di awan, menurunkan gerimis seperti waktu itu. Walapun gerimis yang tak pernah sama. Walaupun bukan awanmu yang menurunkannya. Ah, adakah lagi awan yang mampu menghujani tanah kering ini? Aku percaya akan ada.
Kemarin, gerimis menyapa keringnya rasa. Kalau saja awanmu tak berarak, mungkin gerimis bukan hanya mimpi untuk tanah kering ini. Tapi jika aku terus berandai ‘kalau saja’, mungkin aku tak pernah mengerti hakikat menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan. Karena pelajaran berharga seringkali kita resapi dari apa yang telah berlalu. Ya, kemarin gerimis memang kembali mengusik logika, memicu pengandaian akan kembalinya awanmu yang telah lama berarak, tapi tanah kering ini mengerti, mungkin memang bukan awanmu yang akan membasahinya dengan sejuk. Barangkali, awan yang masih berarak sedang dalam perjalanan menuju tanah kering ini, menyuburkan kembali bunga-bunga rindu tanpa sendu. Meski gerimis tak pernah sama lagi. Gerimis tersejuk kiriman Pemilik Hujan untuk tanah kering.
Kosong.
Rumah, 7 Maret 2014
23.28
Reblogged this on dewirhy09.
salam kenal mbak sebelumnya, faiz,
begitu bagus-bagus dan menginspirasi beberapa tulisan ada
boleh minta folbacknya ? š
Waalaikumsalam š
Salam kenal. Followed ya..
thanks di sini : http://inspirasifaiz.wordpress.com/ š
Baik. Mari berbagi kata š