Entah kenapa, aku masih suka bermain dengan lima huruf ini. Menikmati sore sambil memainkan jemari mempersoalkan hujan.
Hujan, entah kali ini siapa yang berhasil menebak maknanya. Aku tidak menunggu puisi balasan. Tapi, jika ada, tentu akan sangat mengejutkan. hehe.
Dan sore ini, bisa jadi kenangan tentang hujan menutup seiring dinginnya sela yang dihadirkannya dan jendela kamarku yang juga menutup perlahan. Aih, aku terlalu banyak berkata. Ini puisiku ke sekian tentang hujan.
Hujan, Dingin, dan Jendela yang Menutup

Sore ini, hujan masih bergerimis
Ruang di sela-selanya semakin luas
Mengalirkan udara dingin yang menerpaku di balik jendela
Dingin.
Tentu saja. Ruang-ruang itu membuat udara mengalir lebih kencang.
Aku masih menggigit bibir
Sekadar untuk menahan beku jiwa.
Hujan masih gerimis.
Menderas pelan. Dan masih milikmu.
Dingin. Hampir beku.
Aku diam-diam menutup jendela
Berhenti menatap hujan.
Walaupun aku tahu, tanpa menatapnya pun derasnya membasahi jiwa.
Aku diam-diam menutup jendela
Entah, aku tak janji berani menatap hujan lagi
Entah, tak peduli derasnya masih terasa
Entah, tak hirau ruang-ruang itu kaubiarkan saja
Jendelaku menutup perlahan
Dan kamu mungkin masih bersembunyi di ujung sana
Dan kamu mungkin masih menikmati ruang-ruang di selanya
Dan kamu mungkin tak pernah tahu jendelaku menutup
Hujan masih gerimis.
Jendelaku menutup.
Beri tahu aku jika hujan kauterabas.
Atau ketuk saja jendelanya.
Mungkin saja aku mau membukanya. Mungkin saja.
Atau ketuk lebih keras lagi.
Atau dobrak saja.
Tapi pastikan hujan kauterabas, tanpa sela apalagi ruang-ruang itu.
Kampus,
8 November 2012
17.22 WLH
menunggu sesuatu tapi nggak jadi, hasilnya malah iseng mainan sama alfabet 😀
suka tulisan ini. 🙂
iya, lagi2 hujan yaa 🙂
makasih udah ‘hujan2an’ di sini.. 😀
ehehe… iya nih, kayaknya sesama pengagum rahasia hujan. 😛
dibales g him?
Apa ni yg dibales pen? Puisi ini? Haha. Panjang ceritanya 😀
thats cool. you talk with him through your poems 😉
🙂