Tertawa sambil menangis secara bersamaan merupakan salah satu hal absurd yang aku tak bisa mendefinisikan bagaimana rasanya. Sungguh absurd. Seabsurd diam yang lebih mendominasi saat semua berlomba melengkungkan senyummu. Seabsurd rindu yang masih saja tak mau beradu sampai waktu mengizinkannya berpadu. Seabsurd halaman-halaman kosong yang kuharap sampai di ujung pensilmu, walau aku tak tahu bagaimana mengetahui kabar sampainya. Dan aku memilih untuk tidak tahu. Diam. Menikmati ketidakpastian. Ah, bukannya kesabaran membuat yang tidak pasti perlahan menjadi pasti? Pasti “iya” atau pasti “tidak”. Atau kadang keputusan lah yang menciptakan kepastian itu. Dan sebuah keputusan pun sering kali didapat melalui sebuah kesabaran yang kadang tak sebentar.
Ya, bersabar tetap menjadi pilihan yang manis. Biarkan saja terus begini. Tertawa bahagia atas lengkung senyummu, sambil menangis entah atas dasar apa. Biarkan aku diam. Tapi kata Dee hidup akan mengikis apa saja yang diam? Ah, aku sebenarnya tidak diam, aku hanya bahagia dipaksa mengikuti arus Tuhan yang penuh rahasia. Menulis di halaman kosong. Lalu, bersabar, menunggu halaman kosong lainnya bertemu ujung pensilmu.
Apa halaman kosong itu sudah bertemu dengan ujung pensilmu?
Pojok Biru 2
8 September 2012
23.13
*ditulis sambil berimajinasi nanya dan memohon pak satpam, haha, himsa konyol lagi.